Antropologi Agama Pola Keagamaan Masyarakat Pedesaan

Laporan Fenomena Keagamaan – Antropologi Agama II
Pola Keagamaan Masyarakat Pedesaan
Studi Kasus Di Desa Cibulan Kecamatan Lemahsugih, Majalengka


A. Konsep Keagamaan Masyarakat Desa

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta âgama yang berarti tradisi.Disamping itu agama juga diistilahkan dengan religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja religare yang berarti mengikat kembali.Maksudnya seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Wacana keagamaan yang dimaksudkan disini adalah ungkapan-ungkapan yang muncul di masyarakat, sebagai cerminan dari pengetahuan keyakinan agama.Wacana keagamaan lokal yang berkembang pada masyarakat menyiratkan adanya pola pemahaman keagamaan yang mereka sebut sebagi salaf (tradisional). Masyarakat jawa sendiri misalnya, mereka dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan tradisi sosial. Disetiap Masyarakat memiliki nilai-nilai lokal yang menerapkan tata nilai sosial hidup rukun atau tepo seliro dan tolong menolong atau guyub dalam kehidupan sosial sehari-harinya .Bagi masyarakat Jawa secara umum, agama merupakan kekuatan dominan di dalam ritus-ritus, kepercayaan-kepercayaan turut serta membentuk karakter interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari bagi kebanyakan masyarakat. Namun sifat keagamaan masyarakat Jawa, mempunyai fenomena yang berbeda antara Islam Pesisir Jawa dan Islam Jawa Pedalaman .Statemen tersebut merupakan gambaran fenomena keagamaan yang melekat dalam masyarakat Jawa.
Atas dasar budaya dan tradisi yang dianut dan dijaga masyarakat, hal ini berdampak pada pola keagamaan masyarakat desa.Dari sejarahnya agama mendekatkan diri terhadap masyarakat melalui budaya-budaya yang telah mereka miliki, sehingga paradigma keagamaan mereka masih terikat kuat dengan budaya yang mereka miliki. Paradigma spiritualitas disini diartikan sebagai cara pandang yang bersumber dari spirit keagamaan seseorang akan menjadi keyakinan dan dasar dari seluruh aktivitas atau realita sosial dalam suatu masyarakat.

B. Pola Keagamaan Masyarakat Desa

Konsep agama masyarakat desa yang berdasarkan pada system kebudayaan dan tradisi ini tidak berhenti hanya pada satu pola saja, namun terdapat beberapa pola keagamaan yang dimiliki masyarakat desa. Berdasarkan cara beragamanya, pola keagamaan masyarakat pedesaan memiliki suatu perbedaan, yang perbedaan pola keagamaan tersebut antara lain :
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti sebagaimana yang dilakukan oleh nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya bagi seseorang yang menganut cara beragama ini keyakinannya dalam beragama akan kuat , sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, apalagi bertukar agama, tidak ada keinginan sama sekali. Dengan demikian cara beragama tradisional kurang dapat meningkatkan ilmu amal keagamaannya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Secara umum orang yang mengukuti cara agama formal ini adalah orang-orang yang tidak kuat dalam beragama, mudah terpengaruh oleh lingkunagan bahkan mereka rela menukar agamanya demi mendapatkan sesuatu yang diinginkan sedangkan dia tidak dapat memenuhinya sendiri. Mereka sudah ada keinginan untuk meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya walupun hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya.Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).Mereka mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama dan memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

C. Komposisi Penduduk

Perkembangan penduduk muslim di desa Cibulan Kabupaten Majalengka mulai tahun 70 an sampai akhir desember  yang sudah tercatat, mengalami perkembangan /peningkatan yang luar biasa. Menurut hasil wawancara dengan bapak kepala desa dan hasil pengamatan peningkatan jumlah penduduk muslim mencapai 75 %  dan agama non muslim 25%, di Desa tersebut hanya ada 2 agama yakni agama islam dan Kristen saja. Sampai sekarang menurut data yang sudah terhimpun jumlah penduduk muslim adalah 367, non muslim 180,  jadi total kesluruhan penduduk desa Cibulan adalah 547. 
Selain mengidentifikasi penduduk muslim terbesar di Desa Cibulan, sebagaimana tersebut di atas juga menemukan bahwa di desa tersebut terdapat banyak aliran-aliran keagamaan antara lain Nahdhotul Ulama’, Muhammadiah, dan penganut islam kepercayaan(kejawen).
Adapun penganut aliran yang terkecil adalah muhammadiyah, dan yang paling terbesar adalah NU sebagai urutan pertama, dan islam kejawen adalah urutan kedua. Organisasi Nahdhotul Ulama’ mendominasi di setiap Desa Cibulan ini, walaupun mayoritas banyak pengikut akan tetapi masih banyak yang memiliki jiwa kefanatikan. Akan tetapi dalam kehidupan dalam bermasyarakat mereka saling bekerja sama, saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain.

D. Jumlah Sarana Ibadah

Pendataan jumlah sarana ibadah ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan jumlah penduduk muslim dan dengan sarana ibadah yang tersedia. Sarana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah musolla dan masjid. Dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi sarana ibadah yang ada supaya bisa menjadi acuan pengambil kebijakan dalam menyusun progam pembangunan keagamaan islam.
Dari hasil data yang saya terima bahwasannya masjid dengan Musolla lebih banyak musolla.Jumlah sarana ibadah ini secara rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Dan sebagai perbandingan maka sarana ibadah ini ditampilkan juga sarana ibadah lain di wilayah Majalengka desa Cibulan. 
Disini jumlah sarana ibadah musolla lebih besar dibandingkan masjid.Dan musolla biasanya digunakan sebagai sarana ibadah sehari-hari yang relative lingkup kecil.

E. Dimasukkan setiap sub

Dalam hal ini saya sebagai penulis mendapatkan sebuah kasus yang sesuai dengan teori di pertemuan sebelumnya yaitu tentang penyakit sosial. Sesuai data-data yang didapatkan dari lisan maupun teks, bahwasaanya disamping pola keagamaan di desa Majalengka Desa Cibulan sangat kuat sekali namun disisi lain juga terdapat perilaku-perilaku yang menyimpang, verbal maupun non verbal. Contonhnya adalah interaksi beda agama yang disitu adalah agama islam maupun kristen. Masih adanya pro dan kontra dalam hal apapun, kekuasaan maupun pendidikan.Dan keduanya saling berfikir fanatik terhadap perbedaan agama tersebut. Padahal menurut Kartini Kartono dalam bukunya menerangkan tingkah laku menyimpang adalah tingkah laku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada.Akan tetapi sifat tersebut hanya bersifat di komunitas saja, dan pola keagamaan yang bersifat positive atau yang kuat ini juga sangat melekat di hati masing-masing masyarakat. Sifat sosialnya tinggi, suka gotong royong , dan saling menghargai antar sesama, contohnya progam tahlilan, yasinan, , manakiban, ini sangat berpengaruh sekali dalam pola kehidupan di desa tersebut yng menghasilkan ketentraman dan kedamaian.

A). Pemikiran Keagamaan (Thought)

Berdasarkan pola pikir masyarakat pedesaan secara kebudayaan yaitu di domisili oleh keyakian yang berbeda-beda, dan hal ini menunjukkan perbedaan pendapat tentang pemikiran-pemikirannya. Antara nya adalah sebagai berikut:
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti sebagaimana yang dilakukan oleh nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya bagi seseorang yang menganut cara beragama ini keyakinannya dalam beragama akan kuat , sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, apalagi bertukar agama, tidak ada keinginan sama sekali. Dengan demikian cara beragama tradisional kurang dapat meningkatkan ilmu amal keagamaannya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Secara umum orang yang mengukuti cara agama formal ini adalah orang-orang yang tidak kuat dalam beragama, mudah terpengaruh oleh lingkunagan bahkan mereka rela menukar agamanya demi mendapatkan sesuatu yang diinginkan sedangkan dia tidak dapat memenuhinya sendiri. Mereka sudah ada keinginan untuk meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya walupun hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya.Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).Mereka mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama dan memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di mana  hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama¬sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagian bersama di dalam masyarakat.


Adapun yang menjadi ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain sebagai berikut :
a) Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya;
b) Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban).
c) Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time) yang biasanya sebagai pengisi waktu luang.
d) Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencarian, agama, adat-istiadat dan sebagainya.

B). Aksi Keagamaan (Action)

1. Tahlil adalah salah satu ritual yang tidak asing bagi warga NU pedesaan. Ditilik secara kebahasaan, kata tahlil memiliki dua arti yakni “pengucapan la ilaha illallah” dan “ekspresi kesenangan” atau “ekspresi keriangan”.  Umat Islam Indonesia memaknai tahlil pada definisi pertama.Kegiatan tahlil yang meliputi pembacaan yasin, ayat kursi, lantunan tasbih, tahmid dan istighfar memiliki keterikatan dengan struktur social khususnya masyarakat pedesaan.Tahlil bagi masyarakat pedesaan memilliki makna religious dan makna sosial pedesaan.
2. Dzikir Kematian, Ritual tahlil biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga di masyarakat. Bagi masyarakat di Jawa Timur misalnya, ritual tahlilan ada yang dilakukan sejak hari pertama wafatnya anggota keluarga selama tujuh hari berturut-turut.Tahlil juga dapat diselenggarakan setelah tiga hari kematian (nelung dino), kemudian dilanjutkan pada hari ke tujuh (mitung dino).Pada empat puluh hari kematian pihak keluarga biasanya juga menyelenggarakan tahlil kembali (matang puluh), dilanjutkan dengan pelaksanaan tahlil di hari ke-100 (nyatus).Setelah melewati hari ke-100, anggota keluarga menyelenggarakan ritual tahlil kembali pada peringatan haul (1 tahun) kematian dan diakhiri dengan tahlil di hari ke-1000 (nyewu).
Menurut Syaukanie (2010), kalangan Islam tradisional di pedesaan meyakini adanya prosesi perjalanan yang harus dilalui oleh seseorang setelah kematiaannya. Prosesi pertama adalah ujian di liang kubur. Pada prosesi ini seorang hamba akan ditanyakan seputar keimanan oleh Malaikat (man rabbuka siapa tuhanmu, man nabiyuka = siapa nabimu dan lain sebagainya). Usai prosesi ini dilalui,  seorang hamba akan melewati “jembatan lurus” (sirathal mustaqim). Gambaran sirathal mustaqim dijelaskan seperti helai ramput dibelah tujuh. Di bawah jembatan yang panjangannya tak bisa dipikirkan manusia itu adalah bara api yang suhunya melebihi permukaan matahari, itulah neraka jahanam.

C). Kelompok Keagamaan (Fellowship)

Kelompok masyarakat pedesaan ini biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang berambisius untuk mengetahui bahwasannya agama yang mereka anut itu berbeda-beda dalam hal berpendapat.

KESIMPULAN

                Perkembangan jumlah penduduk muslim di Desa ini mengalami perkembangan yang sangat pesat yang asalnya agama Kristen 75 % muslim 25 %, akan tetapi  sekarang menjadi terbalik Muslim 75% dan Kristen 25%. Hal ini disebabkan semangat para masyarakat/juru dakwah yang semangat dalam penyebaran agama islam.
Sarana ibadah yang dimiliki Desa Cibulan ada 3 masjid, 15 musolla, dan 1 Gereja. Hal ini sangat menakjubkan sekali karena dahulu tidak ada masjid dan musholla akan tetapi sekarang sudah banyak sekali sarana tempat ibadah umat muslim daripada sarana ibadah umat Kristen.
                Dan dari studi kasusnya saya sebagai penulis menyimpulkan bahwasannya pola kehidupan di desa Cibulan (Majalengka) dari sisi keagamaannya adalah sangat beragam akan tetapi mereka tetap mengedepankan keyakinan dan saling gotong royong, saling tenggang rasa sesama komunitas.

Komentar

Blog Lainnya