Strategi Kebudayaan Dan Nilai-Nilai Kemanusiaan Makalah

Strategi Kebudayaan Dan Nilai-Nilai Kemanusiaan - Makalah


A. Pengertian kebudayaan 

Kebudayaan=cultur (bahasa Belanda)= culture (bahasa Inggris) berasal dari perkataan Latin “Colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembang arti culture sebagai “ segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”. 
Di dalam masyarakat kebudayaan sering diartikan sebagai the general body of the arts, yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, pengetahuan filsafat atau bagian-bagian yang indah dari kehidupan manusia. Kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Segala sesuatu yang diciptakan manusia baik yang konkrit maupun abstrak, itulah kebudayaan. 
Manusia sebagai makhluk berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan. Karena yang membhagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka dapat dikatakan hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebanaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya. 
Ortega Y. Gasset menulis bahwa hewan itu hidup bukan dari dirinya sendiri melainkan dari yang lain yang ada di luar dirinya. Manusia itu berbudaya yang mengenal dirinya, berunding dengan dirinya sehingga tak tergantung secara mutlak dari kekangan dan tawaran dari sekelilingnya, manusia menguasai dunia di sekitarnya. Itulah isi arti budaya. 
Menurut Ernst Cassier (filsuf Amerika berasal Jerman) manusia merupakan animal symbolicam yaitu makhluk yang penuh dengan lambang. Baginya realitas adalah lebih dari sekedar tumpukan fakta-fakta.
Di antara alam dan dirinya, manusia menyisipkan sesuatu dan dengan sarana itulah ia mengambil jarak dari alam sehingga ia mampu menelaah dan mengertinya. Sarana-sarana tersebut antara lain: bahasa, mitos dan agama yang oleh Cassier dinamakan lambang. 
Mengapa manusia terdorong untuk berbudaya, dijelaskannya demikian: manusia yang berakal sadar bahwa ia sebenarnya telah terlempar ke luar alam, sehingga ia menderita. Karena itulah ia mencari keamanan, dengan sarana tekhnik ia mendirikan bangunan, jembatan, kendaraan, dan sebagainya. Di samping keamnan itu ada pula faktor etika dan estetika. Yang termasuk faktor etika yakni pembentukan kepribadian melalui budayanya; misalnya karena memiliki kesadaran etis maka manusia meningkatkan hidup perkawinan yang biologis ke taraf pernikahan; entah bentuknya monogami entah poligami semuanya itu pasti mempunyai landasan kemanusiaan. Dengan demikian hidup tak dihayati  berupa nafsu-nafsu yang kasar belaka tetap dibungkusnya dalam kesusilaan untuk dinikmatinya. Aspek estetika dari budaya sudah terdapat pada masyarakat primitif. 

B. Tiga tahap perkembangan kebudayaan manusia

Tiga tahap perkembangan sejarah kebudayaan manusia yaitu: tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsional. Yang dimaksudkan dengan tahap mistis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dalam kebudayaan modern pun sikap mistis ini masih terasa. 
Yang dimaksudkan dengan tahap ontologis yaitu sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mistis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil  jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). 
Tahap fungsional yaitu sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mistis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis). Bukan, ia ingin mengadakan relasi-relasi baru. Suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.

C. Strategi kebudayaan 

Startegi kebudayaan membahas mengenai rencana yang terdapat dalam setiap lingkungan kebudayaan. Dari ketiga tahap tersebut baik mitis, ontologis, maupun fungsional bukan merupakan bagian yang terpisah-pisah. Manusia primitif dengan dongeng-dongeng mitisnya juga dapat mendekati sesuatu secara fungsional. Sebaliknya masyarakat yang berada pada masa modern tidak lepas dari unsur-unsur magis serta masih dapat dipengaruhi oleh mitos-mitos. Sejarah kebudayaan manusia tidak dengan sendirinya memperlihatkan suatu garis yang menanjak yang akhirnya mengharuskan manusia mengatur strategi kebudayaannya. 

D. Alam pikiran mitis (mitos sebagai suatu bakat manusiawi)

Dunia mistis yang meliputi alam kebudayaan primitif. Namun, menurut cornelis anthonie Van peursen istilah primitif ini sebetulnya tidak tepat. Karena menurutnya alam pikiran manusia mengandung suatu filsafat yang mendalam , gambaran-gambaran yang ajaib dan adat istiadat yang beraneka ragam warna.
Mitis selalu dihubungkan dengan kata “mitos” yaitu sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat dituturkan, tetapi juga dapat diungkapkan lewat tarian-tarian  atau pementasan wayang misalnya. Inti-inti cerita itu ialah lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba; lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus dan akhirat. Mitos tidak hanya terbatas pada semacam  reportase mengenai peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi, sebuah kisah mengenai dewa-dewa dan dunia-dunia ajaib. Mitos juga memberikan arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan semacam  pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos itu manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam. Turut ambil bagian yang dinamakan partisipasi. Partisipasi manusia dalam alam pikiran mitis ini dapat digambarkan dengan sederhana sekali: terdapat subyek, yaitu manusia (S) yang dilingkari oleh dunia, obyek (O). Tetapi subyek itu tidak bulat, sehingga daya-daya kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia (S) itu terbuka dan dengan demikian berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan alam (O). Partisipasi tersebut berarti, bahwa manusia belum mempunyai identitas atau  individualitas yang bulat; subyek masih terbuka, belum merupakan subyek yang berdikari, sehingga dunia sekitarnya pun belum dapat disebut “obyek” yang sempurna dan  utuh. Obyek dari subyek, daya kekuatan alam dan manusia saling meluluh. 
Mitos memiliki beberapa fungsi, fungsi yang pertama yaitu menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidak memberikan bahwa informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Fungsi yang kedua dari mitos sangat bertalian erat dengan fungsi yang pertama yaitu perantara manusia dengan kekuatan gaib. Sedang fungsi yang ketiga yaitu memberikan pengetahuan tentang terjadinya dunia. Fungsi-fungsi tersebut memaparkan strategi secara meneyeluruh, mengatur dan mengarahkan hubungan antara manusia dan daya-daya kekuatan alam.
Pada tahap mitis ungkapan “itu ada” merupakan puncak pengalaman yang dialami manusia. Dalam dunia mitis manusia belum merupakan seorang individu (subyek) yang bulat, ia dilanda oleh gambaran-gambaran dan perasaan-perasaaan ajaib, seolah-olah ia diresapi oleh roh-roh dan daya-daya dari luar. Ia terpesona oleh dunia ajaib, penuh teka-teki tentang kesuburan, hidup dan mati, pertalian suku. Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa sesuatu berada hingga sampai pada puncaknya yaitu sesuatu itu ada.
Pada tahap mitis ada dua hal yang sangat berlawanan yaitu mitos religius dan praktek magi. Dalam kehidupan manusia primitive magi memainkan peranan besar. Dalam dunia mitos manusia mengaraahkan pandangannya dari dunia ini kepada dunia yang penuh kekuasaan yang tinggi, dalam magi manusia bertitik tolak dari dunia penuh kekuasaan. Atau lebih sederhana mitos lebih mirip dengan pujaan religius sedang magi lebih condong menguasai sesuatu lewat beberapa kepandaian. Magi mau menangkis mara bahaya, mempengaruhi daya-daya kekuatan alam, menguasai orang-orang yang mau membunuh orang lain dengan menusuk-nusuk gambarnya.

E. Alam pikiran ontologi (ontologi sebagai pembebasan)

Dalam alam pikiran ontologis, manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang mengitarinya. Ia tidak begitu terkurung lagi, bahkan kadang ia bertindak sebagai penonton atas hidupnya sendiri. Ia berusaha memperoleh pengertian  mengenai daya-daya kekuatan yang menggerakkan alam dan manusia. Perkembangan ini pernah disebut sebagai perkembangan dari ”mitos” ke ”logos”. Kata ”logos” mengandung arti sesuatu yang mirip dengan ”logis”. Namun dalam tahap ini memang manusia tidak hanya melulu berpikir secara logis, tapi emosi dan harapan juga bermain di sini, pun agama dan keyakinan juga tetap berpengaruh. Sekarang ajaran mengenai dunia mitologis berubah menjadi metafisika. Refleksi atas kehidupan manusia dengan para pemikir besar Yunani,  sebut saja Aristoteles, Plato, dan dedengkot filsafat yang lain meramaikan alam pikiran ontologis ini. Pertanyaan yang diajukan dalam alam pikiran ini adalah tentang dunia transenden, tentang kebebasan manusia, pengertian mengenai dosa dan kehidupan, eskaton (akhir jaman), dll.
Sebagaimana dalam tahap mitis. Tahap ontology juga memilki beberapa fungsi yaitu membuat suatu  peta mengenai segala sesuatu mengenai manusia. Sikap ontologis berusaha menampakkan dunia transendensi sehingga dapat dimengerti. Sebagai contoh adalah pembuktian adanya Tuhan. Hal ini diawali dari pengalaman manusia mengenai daya-daya kekuatan yang direnungkan dalam alam filsafat. Sikap mitis dan renungan ontologis berhubungan namun pendekatannya berbeda. Dalam sikap mitis manusia mengambil bagian (partisipasi)  dalam daya-daya yang meresapi alam dan manusia sedangkan dalam perenungan ontologis manusia mengambil jarak (distansi) terhadap segala sesuatu yang mengitarinya agar dengan demikian lewat pengertian dapat dibuktikan adanya sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi.
Fungsi ontologis yang kedua adalah jaminan mengenai hari ini. Proses-proses yang terjadi di alam raya dan dalam hidup manusia mulai diterangkan dengan bertitik pangkal pada hukum-hukum abadi. Mitos-mitos masih dipakai, tetapi sekarang lebih sebagai suatu alat atau sarana untuk menerangkan sesuatu atau menuturkan sesuatu yang sukar di ungkapkan dengan cara lain.
Fungsi ketiga dari ontologis adalah menyajikan pengetahuan. Dalam alam pikiran ontologism yang dipentingkan adalah hakekat sesuatu apanya, pada tahap ini manusia juga ingin mengakui daya-daya yang menguasai kehidupan manusia beserta alam raya tetapi lewat jalan memperoleh pengetahuan dan mengakui apanya.
Manusia berusaha menempatkan diri dalam hubungan baik dan dalam alam ontologism hubungan tersebut tak lain daripada hubungan yang masuk akal menurut arti harfiah, akal budi harus mengakui hakekat manusia, dunia dan dewa-dewa dengan demikian akan menampilkan kebenaran. Tetapi kedua sikap itu tidak selalu sepi dari kesombongan. Dalam duinia mitis kesombongan menghasilkan magi, sedang dalam ontologism kesombongan menghasilkan substansialisme.
Substansialisme berasal dari kata substansi yang berarti sesuatu yang dapat berdiri sendiri yang mempunyai landasan sendiri dan tidak perelu bersandar atau bergantung pada sesuatu yang berada di luar. Dengan demikian hubungan makhluk yang satu dengan yang lain dapat diputuskan. Substansialisme mengadakan isolasi. Memisahkan manusia, barang-barang, dunia nilai-nilai, Tuhan, dipandang sebagai lingkaran-lingkaran yang berdiri sendiri lepas antara yang satu dengan yang lain.
Substansialisme merupakan bahaya yang selalu menyergap alam pikiran ontologism. Nilai-nilai dan konsep-konsep dijadikan substansi-substansi yang terlepas. Bahkan manusia dijadikan dua substansi yaitu badan dan jiwa. Masyarakat tak lain daripada suatu penjumlahan individu-individu. Distansi menjadi keretakan dan masyarakat dijadikan sistem tertutup yang tak dapat diganggu gugat, entah karena sistem feudal, kapitalis, atau disiplin partai.

F. Pemikiran  fungsionil (peralihan ke arah pemikiran fungsionil)

Fungsional dapat dilihat sebagai suatu pembebasan dari substansialisme. Kata Fungsionil diperuntukkan untuk kebudayaan Modern. Alam pikiran fungsional menyangkut hubungan, pertautan dan relasi. Alam pikiran manusia selalu mengandung aspek-aspek fungsionil. Alam pikiran ini meliputi baik teori maupun praktek, perbuatan etis dan karya artistik, sektor pekerjaan dan keputusan-keputusan politis. Tetapi di tengah gejala-gejala nampak adanya sikap dasar dalam alam fungsional yaitu orang mencari hubungan-hubungan antara semua bidang, arti sebuah kata atau perbuatan atau barang dipandang menurut peran dan fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan yang saling berhubungan. Dalam alam pikiran fungsionil nampak bagiamana manusia dan dunia saling menunjukkan, relasi, kebertautan antara yang satu dengan yang lain.
Ada tiga aspek dalam pikiran fungsionil. Aspek pertama yaitu bagaiamana manusia ingin memperlihatkan daya-daya kekuatan sekitarnya aatau menjadikan semuanya itu sesuatu yang dialami. Dalam pikiran refleksi, kesadaran sosial, kesenian dan religi, manusia berusaha mewujudkannya, bagaimana sesuatu mempunyai arti atau tidak berarti.
Aspek yang kedua adalah bagaimana memberi dasar kepada masa kini. Di sini akan terlihat bagaimana manusia dan struktur sosialnya dapat diberi arti dan dibenarkan. Tehnik dan rekreasi, psikoterapi, kesenian, teologi dan sopan-santun sangat erat hubungannya secara fungsionil, asal bidang-bidang itu mampu memberi arti kepada situasi-situasi konkrit.
Aspek ketiga yang menyerupai aspek-aspek semacam itu dalam tahap mitis dan ontologism ialah peran ilmu pengetahuan. Pada tahap inipun orang ingin menambah pengetahuan.
Jika dalam  mitis ada magi, dalam ontologis ada substansialisme, maka dalam alam fungsionil ada operasional. Gejala operasional adalah suatu bahaya yang melampaui batas-batas yang merongrong sesuatu. Operasionalisme selalu membayangi pikiran fungsionil; bagaikan suara hati yang gelisah. Manusia menjadi terkurung dalam operasi-operasi dan akal-akalnya sendiri. Sikap fungsionil lebih menunjukkan suatu tanggung jawab daripada suatu tahap yang telah tercapai. 

G. Nilai-Nilai Kemanusiaan

Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kuperman, via Mulyana, 2004). Seperti sosiolog pada umumnya, Kuperman memandang norma sebagi salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial sebab dengan penegakan norma seseorang dapat merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan merugikan dirinya. 
Nilai merupakan keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya (Allport, via Mulyana, 2004). Menurut Gordon Allport, nilai terjadi pada wilayah psikologi yang disebut keyakinan. Keyakinan ditempatkan sebagai wilayah psikologi yang lebih tinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan. 
Kluckhohn (Brameled, via Mulyana, 2004), mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat yang sifatnya membedakan ciri-ciri individu atau kelompok) dari apa yang diinginkan yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Pengertian tersebut merupakan kesimpulan dari beberapa pengertian nila diatas, dimaksudkan sebagai takaran manusia sebagai pribadi yang utuh atau nilai yang berkaitan dengan konsep benar dan salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat tertentu. 
Nilai kemanusiaan adalah nilai mengenai harkat dan martabat manusia. Manusia merupakan makhluk yang tertinggi di antara makhluk ciptaan Tuhan sehingga nilai-nilai kemanusiaan tersebut mencerminkan kedudukan manusia sebagai makhluk tertinggi di antara makluk-makhluk lainnya. Seseorang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi menghendaki masyarakat memiliki sikap dan perilaku sebagai layaknya manusia. Sebaliknya dia tidak menyukai sikap dan perilaku yang sifatnya merendahkan manusia lain. Nilai budaya merupakan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Koentjoroningrat (1984: 8-25) mengemukakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. 
Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kepentinggan para anggota masyarakat, bukan nilai yang dianggap penting dalam satu anggota masyarakat sebagai individu, sebagai pribadi. Individu atau perseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat karena dia berusaha untuk mengelompokkan diri dengan anggota masyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersama bukan kepentingan diri sendiri.
Manusia sebagai pengemban nilai-nilai moral ialah manusia yang selalu berusaha memperhatikan dengan sungguh-sungguh penerangan akal dan budi dan berusaha menaatinya. Harus melatih diri mengekang atau mengendalikan hawa nafsu dan  berusaha membatasi keinginan dalam segala segi. 
Belum dikatakan bermoral apabila dia melihat perbuatan jahat tidak berusaha memberantasnya, hanya dengan alasan amal perbuatan atau kejahatan itu tidak mengenai atau merugikan dirinya. Sebagai pengemban nilai-nilai moral, setiap orang harus merasa terpanggil untuk mengadakan reaksi, kapan dan dimana saja melihat perbuatan yang menginjak-injak nilai-nilai moral tersebut. Hanya apabila semua orang sudah menyadari akan tugas dan kewajibannya seperti itu, suasana kehidupan yang aman, tertib , adil dan damai dapat diciptakan. Sebaliknya, selama masih ada di antara orang yang berbuat sesuatu hanya ingat akan kepentingan dirinya tanpa memeprhitungkan orang lain, maka selama itu pula perdamaian dan keadilan hanya akan merupakan impian belaka. 

H. Keterikatan nilai kemanusiaan dan budaya 

Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal, maksudnya bahwa waupun keduanya berbeda tetapi  keduanya merupakan satu kesatuan.Manusia menciptakan kebudayaan, dan setelah kebudayaan itu tercipta maka kebudayaan mengatur hidup manusia agar sesuai dengan nya. Tampak bahwa keduanya akhirnya merupakan satu kesatuan. Contoh sederhana yang dapat kita lihat adalah hubungan antara manusia dengan peraturan-peraturan kemasyarakatan. 

BAB III 
PENUTUP

A. Simpulan 

Tiga tahap dalam bagan ini ialah: tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsional. Yang dimaksudkan dengan tahap mistis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dalam kebudayaan modern pun sikap mistis ini masih terasa.
Dari ketiga tahap tersebut baik mitis,ontologis, maupun fungsional bukan merupakan bagian yang terpisah-pisah. Manusia primitif dengan dongeng-dongeng mitisnya juga dapat mendekati sesuatu secara fungsional. Sebaliknya masyarakat yang berada pada masa modern tidak lepas dari unsur-unsur magis serta masih dapat dipengaruhi oleh mitos-mitos. Sejarah  kebudayaan manusia tidak dengan sendirinya memperlihatkan suatu garis yang menanjak yang akhirnya mengharuskan manusia mengatur strategi kebudayaannya.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini kami memakai kajian pustaka,  dari beberapa sumber. Dan jika terdapat kekurangan mohon untuk diteliti kembali dengan mencari sumber yang lebih lengkap. 

DAFTAR PUSTAKA

Peursen, Van C A. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Kanisius.
Widangdho, Djoko. 1994. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara 
Wahyu, Ramdani. 2008. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: CV Pustaka Setia. 

Komentar

Blog Lainnya