Penciptaan Lapangan Kerja Dan Pengembangan UKM Makalah

Penciptaan Lapangan Kerja Dan Pengembangan UKM (Usaha Kecil Menengah) - Makalah Ekonomi


BAB I
PENDAHULUAN


Akses ke lapangan kerja adalah jalan yang paling menjamin untuk bisa keluar dari kemiskinan. Dengan demikian, kebijakan dan program penciptaan lapangan kerja tetap memainkan peran  penting dalam memerangi kemiskinan. Secara internasional, koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) diakui sebagai faktor penentu dalam pertumbuhan ekonomi dan semakin berperan dalam membuka sebagian besar lapangan kerja. Koperasi saja dapat menciptakan 100 juta lapangan kerja. Untuk merespon tren ini, Konferensi Perburuhan Internasional mengadopsi Rekomendasi 189 (1998) tentang General conditions for the promotion of job creation through small and medium-sized enterprises (ketentuan umum untuk peningkatan penciptaan lapangan kerja melalui usaha kecil dan menengah) dan Rekomendasi 193 (2002) mengenai Penciptaan Pekerjaan dan Pengembangan Usaha (Usaha Kecil, Menengah dan Ekonomi Lokal) Peningkatan Koperasi. Rekomendasi 189 mengakui pentingnya penciptaan lingkungan yang kondusif  bagi pengembangan UKM. Selain itu, ILO juga menegaskan perlunya desentralisasi pelayanan serta melibatkan berbagai stakeholder dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Rekomendasi 193 telah lebih maju melangkah dengan melakukan advokasi mengenai perlunya pemerintah mengakui pentingnya peran global dari koperasi dalam  pengembangan sosial dan ekonomi nasional, mendorong kerjasama internasional, dan di saat yang sama mengakui identitas koperasi berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip. Hal ini menggarisbawahi perlakuan sama terhadap koperasi dan jenis usaha/organisasi nasional lainnya dan mendefinisikan peran pemerintah dalam menciptakan suatu kebijakan dan kerangka aturan yang mendukung serta menfasilitasi akses-akses yang mendukung pelayanan dan keuangan tanpa campur tangan yang tidak perlu. 
Di Indonesia, diakui secara umum bahwa sebagian besar perempuan dan laki-laki memperoleh nafkah dan penghasilan dari UKM. Namun demikian, pengukuran kontribusi UKM sudah bertahun-tahun tidak bisa dilakukan karena tidak adanya keseragaman definisi UKM yang diakui oleh semua departemen dan instansi pemerintah, serta swasta. Saat ini, hanya Badan Pusat Statistik yang membuat perbedaan sistematis tentang usaha rumah tangga (cottage), usaha kecil, menengah dan besar berdasarkan jumlah tenaga kerja. Klasifikasi ini memungkinkan dilakukannya analisis atas berbagai perubahan struktur lapangan kerja selama ini. Kontras dengan hal ini, sebagian besar definisi yang digunakan oleh departemen dan instansi lain tidak didasarkan pada besarnya jumlah tenaga kerja tapi berdasarkan nilai aset atau omset (penjualan). Misalnya, Kementerian Negara Kooperasi dan UKM mendefinisikan usaha kecil sebagai perusahaan dengan jumlah penjualan per tahun sebesar Rp 1 miliar sampai Rp 50 miliar. Selanjutnya, Kementerian Negara ini menemukan bahwa lebih 99 persen dari semua usaha di Indonesia dapat digolongkan sebagai usaha kecil yang secara keseluruhan mempekerjakan lebih dari 99 persen dari seluruh tenaga kerja yang ada di Indonesia. Departemen lain menggunakan definisi yang juga menunjukkan sangat besarnya sektor UKM di Indonesia. Walaupun ada kesulitan dalam pengukuran, posisi UKM diakui makin penting dan bahkan sudah memegang peran lebih besar dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial Indonesia. Dengan begitu, pengembangan UKM menjadi salah satu platform dari agenda pembangunan ekonomi dan sosial pemerintah. 
Platform lain adalah pengembangan koperasi. Di Indonesia, koperasi siap untuk bebas dari ketergantungan subsidi pemerintah pusat sebagai dampak krisis moneter yang dimensional dan otonomi daerah yang telah mengurangi kendali pemerintah pusat terhadap koperasi. Lembaga independen seperti Lembaga Studi untuk Koperasi (LSP2-I) berinisiatif mengusulkan suatu undang-undang koperasi baru yang ditujukan untuk memulai pembaharuan tersebut. Suatu usaha partisipatif selama satu tahun telah dilakukan, dimulai dengan anggota utama khususnya dari akar rumput, mencapai sejumlah amandemen terhadap perundang-undangan koperasi yang ada. Sementara itu, DEKOPIN, serikat koperasi terbesar di Indonesia, telah melakukan kajian internal terhadap perubahan yang dibuat dalam peraturan koperasi yang ada dan telah memasukkan rekomendasi pada lembaga terkait di parlemen.
Versi rancangan ketiga akhirnya dikeluarkan pemerintah pada akhir Oktober 2003, dan akan didiskusikan oleh DPR. Meskipun tidak ada kekurangan yang mendasar dari UU Koperasi No.25/1992, proses partisipatif yang dilakukan oleh LSP2-I telah menciptakan kesadaran yang lebih baik di antara para pemegang kepentingan di Indonesia akan kebutuhan untuk memasukkan ICA (Cooperative Identity Statement/Pernyataan Identitas Koperasi), termasuk bahan-bahan yang termuat di dalam Rekomendasi ILO No. 193, ke dalam rancangan peraturan. 
Untuk memahami hubungan antara pengembangan usaha dan pengentasan kemiskinan, diperlukan pengenalan atas ekonomi informal perkotaan dan sektor pertanian yang luas, karena di sinilah dapat ditemukan bagian terbesar dari usaha kecil namun di sini pula terdapat tenaga kerja dan pengusaha miskin.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Ekonomi Informal Perkotaan

Ekonomi informal di Indonesia lebih tepat disebut ekonomi informal perkotaan. Badan Pusat Statistik (BPS) membedakannya dari ekonomi informal tradisional, yaitu sektor pertanian. Menurut BPS, ekonomi informal perkotaan terdiri dari perorangan dan pengusaha yang tidak diakui secara legal, dan melakukan bisnis seringkali tanpa izin atau tidak diketahui oleh pemerintah daerah. Namun demikian, banyak usaha di ekonomi informal ini mungkin sudah didaftar oleh pemerintah daerah dan regulator keuangan, seperti Departemen Keuangan atau kantor pelayanan pajak, namun belum mendapatkan status yang didefinisikan sebagai “badan hukum”. 
Di Indonesia, perekonomian formal terdiri dari sekitar 2 juta pengusaha (termasuk bekerja sendiri) dengan menyerap tenaga kerja sekitar 29,5 juta orang. Jumlah ini merupakan 33 persen dari seluruh angkatan kerja nasional yang berjumlah 90 juta orang. Perekonomian sektor informal melibatkan lebih dari 60 juta tenaga kerja atau 67 persen dari jumlah tenaga kerja yang ada. Perekonomian formal mempekerjakan hampir 22 juta (atau 44 persen) dari 49 juta tenaga kerja non-pertanian, sementara ekonomi informal menampung sekitar 28 juta (56 persen). Ekonomi formal mendominasi sektor-sektor pertambangan, konstruksi dan utilitas (85 persen) serta sektor keuangan (74 persen). Sebaliknya, perekonomian informal mendominasi sektor-sektor perdagangan (85 persen) dan sebagian besar dari sektor manufaktur (54 persen). Pekerjaan-pekerjaan di sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi terbagi hampir sama antara ekonomi formal dan informal. Sektor perdagangan mendominasi ekonomi informal non-pertanian dengan penguasaan sekitar 57 persen, diikuti sektor manufaktur (23 persen), keuangan dan jasa (10 persen), serta angkutan (8 persen). 
Tidak semua pekerja atau pengusaha dalam ekonomi informal tergolong miskin, tetapi banyak di antara mereka yang hidup dengan risiko tinggi yang bisa mendorong mereka ke jurang kemiskinan. Pekerjaan di sektor informal sering dicirikan dengan keterampilan dan produktifitas rendah, penghasilan rendah atau tidak tetap, jam kerja panjang, tempat kerja yang kecil dan tidak jelas, kondisi kerja yang tidak aman dan tidak sehat, serta tidak mempunyai akses ke informasi, pasar, keuangan, pelatihan dan teknologi. Pekerja di ekonomi informal tidak diakui, tidak didaftar, tidak diatur atau tidak dijamin oleh undang-undang perburuhan dan jaminan sosial, seringkali status hubungan kerja mereka tidak jelas. Bagian terbesar dari mereka yang mengalami keadaan ini adalah perempuan dan anak-anak. 
ILO telah mengembangkan suatu pendekatan partisipatif untuk memperbaiki kondisi kerja dan hidup dari pekerja ekonomi informal melalui kemitraan dengan serikat pekerja dan koperasi di tiga negara Afrika: Rwanda, Tanzania dan Uganda. Pendekatan SYNDICOOP dipandang dapat mengembangkan program-program yang tepat bagi pekerja ekonomi informal di Indonesia serta untuk memasukkan ekonomi informal ke dalam proses PRSP dengan dukungan serikat pekerja dan koperasi.

2.2 Pekerja Pertanian dan Masyarakat Pedesaan

Di Indonesia, sektor pertanian mendominasi penyerapan tenaga kerja dengan 41 juta pekerja, dimana 80 persen di antaranya masuk dalam kategori ekonomi informal. Selain itu, kemiskinan sudah menjadi fenomena pedesaan karena sekitar 75 persen dari rumah tangga miskin adalah penduduk pedesaan yang bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber penghasilan utama. 
Penduduk miskin di pedesaan seringkali mengalami situasi yang tidak menguntungkan karena terpencil, tidak berpendidikan dan tidak memperoleh layanan kesehatan, tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan tidak produktif, tingkat kesuburan tinggi serta diskriminasi untuk perempuan dan minoritas etnik. Dengan demikian, kebijakan dan program pengentasan kemiskinan harus fokus pada pembangunan pedesaan dan harus menciptakan lebih banyak peluang bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan di pedesaan. Kebijakan demikian bukan saja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melainkan juga akan membantu mengurangi kemiskinan di daerah perkotaan melalui pengurangan migrasi ke luar dari daerah pedesaan ke pusat perkotaan yang berpenduduk lebih padat. Daerah pedesaan Indonesia, sebagaimana negara Asia lainnya, organisasi yang paling dekat dengan kaum termiskin adalah koperasi, dan melalui jalur koperasi, mayoritas kaum miskin yang hidup di daerah terpencil dapat dicapai untuk membantu mereka menciptakan kehidupan berkelanjutan yang lebih baik dan menyediakan pelayanan sosial dasar.

2.3 Pertimbangan Gender

Perlakuan dikriminatif atas perempuan dalam pasar tenaga kerja dan diskriminasi tak-langsung dalam struktur tempat kerja dan perlakuan tidak sama terhadap perempuan dan laki-laki dalam jangka pendek ataupun jangka panjang akan lebih merugikan perempuan dibanding laki-laki. Sebagian besar mereka yang bekerja di sektor informal dengan upah rendah dan hubungan kerja yang tidak standar adalah perempuan. Ini merupakan hasil dari kurangnya jaminan kerja, pendapatan rendah, jaminan sosial yang tidak memadai, dan lebih banyak perempuan setengah-pengangguran ketimbang laki-laki.
 Perempuan pengusaha merupakan representasi dari kekuatan ekonomi yang punya potensi besar, tapi kini menghadapi banyak hambatan. Mereka tidak mempunyai akses yang memadai pada pelatihan pemasaran, pembukuan dan keterampilan manajemen. Mereka juga tidak mempunyai jaringan dan informasi bisnis yang bisa membuat mereka mampu bersaing dan mengatasi berbagai tantangan dalam permintaan konsumen, dan teknologi. Mereka juga mendapatkan kesulitan memperoleh kredit, terutama bila permintaan mereka melebihi batas kredit lembaga keuangan mikro dan koperasi yang ditawarkan bagi perempuan.

2.4 Memasukkan Pengentasan Kemiskinan Dalam Kebijakan dan Program Pengembangan Usaha

Pada umumnya, lembaga-lembaga dan kebijakan mereka yang dirancang untuk menunjang pengembangan usaha diarahkan untuk melayani ekonomi formal sehingga menyisihkan para pelaku ekonomi informal. Prosedur, teknologi, mekanisme pengiriman barang, dan isi produk yang mereka buat lebih sesuai dengan kebutuhan usaha besar. Ini perlu diubah, ekonomi informal pedesaan dan usaha di daerah pedesaan perlu diakui dan dimasukkan dalam statistik resmi, perizinan dan pendaftaran mereka di instansi pemerintah daerah dan pusat harus sesuai, dan usaha-usaha informal ini perlu memperoleh akses ke berbagai sumber daya produktif seperti kredit, pelatihan, pemasaran dan jasa kepenasehatan. Kebutuhan sektor ini perlu dimasukkan dalam arus utama (mainstream) berbagai kebijakan dan program pengembangan usaha. 
Berbagai peluang untuk berdirinya dan tumbuhnya usaha tidak diciptakan oleh intervensi eksternal, melainkan berkembang dari pasar dan kewiraswastaan perempuan dan laki-laki. Aspek-aspek kunci yang mempengaruhi awal dan pertumbuhan usaha meliputi hal-hal berikut:
Lingkungan yang kondusif. Lingkungan kebijakan yang baik penting artinya untuk pengembangan usaha. Dengan demikian, kebijakan ekonomi, baik kebijakan makro maupun mikro memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang memungkinkan tumbuhnya usaha secara evolusi dalam kancah ekonomi Indonesia. Sayangnya, sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, banyak terdengar suara-suara yang memprihatinkan tentang banyaknya peraturan di berbagai kabupaten/kota.
Akses ke keterampilan dan teknologi. Keterampilan teknis dan manajemen penting artinya untuk meningkatkan produktifitas, penghasilan dan akses ke kesempatan kerja. Namun demikian, satu hal yang mengejutkan dari hampir semua strategi pengentasan kemiskinan adalah tidak adanya pendidikan dan pelatihan keterampilan, meskipun sebagian besar pekerja yang hidup dalam kemiskinan tidak mampu dan tidak mempunyai akses mengikuti pelatihan. Program-program yang mengaitkan keterampilan dan penguasaan teknologi dengan dukungan kewiraswastaan adalah bagian penting dari strategi pengentasan kemiskinan. Program-program pelatihan berbasis masyarakat yang secara sistematis mengidentifikasi kesempatan penciptaan lapangan kerja dan pendapatan di tingkat lokal juga bisa merancang dan melaksanakan program pelatihan yang cocok, dan menyediakan jasa dukungan pasca pelatihan yang diperlukan, termasuk kredit, bantuan teknis dan informasi pasar.
Akses ke dana. Tidaklah mungkin membangun usaha tanpa akses ke permodalan. Orang miskin di mana pun di dunia tidak mempunyai banyak akses ke jasa keuangan. Kegiatan pembiayaan mikro yang berjalan seiring dengan kewiraswastaaan memungkinkan kaum miskin meminjam uang untuk keperluan produktif, mengamankan dan mengembangkan aset mereka. Pada kenyataannya, permintaan akan pembiayaan mikro di Indonesia hanya bisa dipenuhi sebagian oleh lembaga keuangan yang ada, dan upaya ekspansi usaha atau membuka usaha baru sangat tergantung pada kemampuan mereka sendiri. Selanjutnya, misalnya, dengan 36.000 koperasi primer simpan pinjam dan sekitar 11 juta anggota, sektor koperasi merespon pada kebutuhan kredit mikro hingga 30 persen. Ini membuat koperasi lembaga keuangan kedua terbesar setelah Bank Rakyat. Dorongan untuk mengadopsi teknologi dan cara baru dapat membantu mereka membangun kemampuan pelayanan secara berkesinambungan.
Akses ke layanan pengembangan bisnis. Layanan pengembangan bisnis (Business Development Services/BDS) meliputi pelatihan, layanan kepenasehatan dan konsultasi, bantuan pemasaran, informasi, pengembangan dan alih teknologi, serta promosi bisnis. Penyelenggara BDS umumnya terdapat di hampir semua kota besar dan universitas. Terdapat juga lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi menawarkan BDS untuk koperasi. LSP2-I dan Jaringan Usaha Koperasi (JUK) adalah pemberi layanan BDS.
Akses ke pasar. Penyediaan pelatihan keterampilan, peningkatan kewiraswastaan, kredit mikro, layanan pengembangan bisnis dan pembangunan kemampuan, akan membantu meningkatkan penghasilan. Namun demikian, tanpa akses ke pasar yang kuat, para wiraswastawan ini mungkin tetap sulit keluar dari kemiskinan. Penyediaan prasarana pedesaan, keikut-sertaan dalam pameran dagang dan program pertemuan dengan pembeli, serta program-program keterkaitan usaha kecil dan besar dapat digunakan untuk meningkatkan akses usaha kecil ke pasar.

2.5 Usaha Menjadikan (kembali) Koperasi Sebagai Model Pengembangan Usaha Lokal

Strategi yang mantap untuk pengentasan kemiskinan harus banyak menekankan pada partisipasi pekerja perempuan dan laki-laki yang hidup dalam kemiskinan, ke dalam berbagai kebijakan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Kelompok gotong royong, usaha milik petani, perkumpulan simpan-pinjam, dan organisasi masyarakat dalam bentuk lain seringkali mampu menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan pekerja atau wirausahawan di sektor informal di kota maupun pedesaan. Pengembangan kemampuan, pemberantasan buta huruf dan perbaikan kesehatan, peluang menciptakan penghasilan, akses ke lembaga yang ada dan layanan umum. dukungan kebijaksanaan, semuanya dapat dikembangkan melalui organisasi koperasi. 
Di masa lampau, istilah koperasi banyak disalahgunakan di Indonesia, seperti di banyak negara lain. Koperasi yang dipromosikan pemerintah telah gagal memobilisasi anggota, karena mereka melihat organisasi ini dikontrol oleh orang-orang yang diangkat pemerintah. Visi koperasi untuk memperkuat kekuatan ekonomi para anggotanya melalui kewiraswastaan yang didorong oleh keanggotaan dalam koperasi justru mengalami penurunan nilai dan diskreditasi. Dewasa ini, banyak koperasi yang terdaftar di Indonesia mencoba memperbaiki masalah yang diwariskan di masa lalu. Koperasi dimiliki oleh anggota dan model pembangunan berkelanjutan yang berbasis masyarakat dan peranannya dalam pembangunan lokal tidak dapat diabaikan. Koperasi yang kuat secara finansial dan mandiri dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya dan karenanya mendukung distribusi pendapatan yang lebih merata. Koperasi sangat penting untuk penciptaan kesempatan kerja di dalam iklim pedesaan dan perkotaan, demikian juga untuk ekonomi informal. 

2.6 Peningkatan Kewirausahaan Kaum Muda

Kaum muda laki-laki maupun perempuan di Indonesia menghadapi bayang-bayang yang menakutkan dalam masalah sosial dan ekonomi seperti tingginya tingkat pengangguran dan setengah-pengangguran. Pengangguran dan setengah pengangguran muda tidak hanya membuang percuma bakat dan keterampilan generasi muda, tapi juga terkait dengan problem-problem sosial. Ini mengakibatkan hilangnya bakat kreatif kaum muda yang sebenarnya dapat memberikan sumbangan inovatif pada tenaga kerja dan masyarakat. 
Di Indonesia, sekitar 60 persen pekerja muda miskin mencari nafkah di sektor informal. Kebanyakan kaum muda yang bekerja-sendiri menjalankan usaha dengan skala sangat kecil dan masalah utama mereka adalah tidak-adanya pelatihan dan modal, persaingan dan korupsi, serta naik-turunnya penghasilan karena perubahan musiman dalam kegiatan bisnis mereka. Tidak mengherankan bila sebagian besar dari mereka tidak siap mengembangkan usaha mereka menjadi perusahan-perusahaan kecil yang mantap yang menghasilkan penghasilan yang cukup dan lapangan kerja di masa depan. 
Ada kesadaran yang makin kuat tentang perlunya mengatasi pengangguran kaum muda di Indonesia, baik dengan memberikan peluang kerja yang layak bagi kaum muda, Indonesia akan memperoleh manfaat penuh dari sumbangan kaum muda dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Ini juga menjadi bagian penting dalam strategi pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia. Hal itu juga diperlukan untuk menghindari terjadinya keterpencilan sosial, keputus-asaan dan frustrasi. Strategi seperti itu perlu melibatkan partisipasi pihak swasta dan organisasi kemasyarakatan untuk menyediakan pelatihan, pendampingan, dan akses kredit bagi wiraswastawan muda. Strategi ini dapat juga melibatkan sekolah dan lembaga pendidikan keterampilan untuk mempromosikan kewiraswastaan.

2.7 Desentralisasi dan Pengembangan Perusahaan

Desentralisasi merupakan salah satu langkah reformasi yang terpenting. Dalam pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan koperasi pada tingkat nasional, Kantor Kementerian Negara Koperasi dan UKM mempunyai kewenangan mengkoordinasi berbagai upaya pengembangan UKM (UU No. 9/1995 dan Keputusan Presiden No. 101/2001). Namun demikian, proses desentralisasi menyebabkan tanggung jawab dalam pengembangan program dan implementasinya beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. 
Di seluruh Indonesia tercatat sejumlah provinsi dan kabupaten/kota sudah siap menghadapi tantangan ini dengan merumuskan kebijakan dan program pengembangan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Ini menunjukkan pentingnya kekuatan pemerintah pusat untuk menjamin bahwa semua program dan kebijakan daerah akan memperkuat perekonomian sekaligus sesuai dengan UKM. Inisiatif seperti itu secara sistematis harus mengacu pada praktek bisnis yang baik (international best practice) dan keahlian para pengusaha lokal dan asosiasi bisnis di daerah. 

2.8 Pengembangan Ekonomi Lokal Sebagai Kerangka Untuk Pengembangan Usaha Yang Terdesentralisasi

Pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic dan Employment Development/LED) yang diakui secara internasional menyediakan kerangka kerja untuk kegiatan-kegiatan lokal semacamnya. Pendekatan LED adalah proses pengembangan melalui partisipasi yang mendorong kemitraan di antara para stakeholder utama di suatu wilayah yang bertujuan merangsang kegiatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Para stakeholder ini terdiri dari perorangan, perusahaan dan/atau organisasi kemasyarakatan, sektor swasta dan sektor nirlaba yang mempunyai minat dan kemampuan untuk mendukung pengembangan masyarakat. Mereka ini termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi yang memiliki minat yang kuat dalam pengembangan UKM, perusahaan dan asosiasi bisnis, representasi lain dari sektor UKM. 
Proses ini memungkinkan terjadinya kerjasama dalam perancangan dan pelaksanaan strategi pengembangan ekonomi dan lapangan kerja, dengan memanfaatkan sumber daya setempat dan keunggulan kompetitif. Secara khusus, dalam pendekatan LED, pemerintah lokal menjadi pemimpin dalam mempermudah dan mendorong partisipasi para stakeholder setempat dan membangun konsensus dalam menentukan berbagai inisiatif ekonomi dan kesejahteraan sosial untuk masyarakatnya. 

2.9 Membangun Industri Yang Sudah Ada dan Pengelompokkan

Di banyak provinsi dan kabupaten/kota, jenis-jenis industri tertentu memainkan peran penting dalam perekonomian daerah dan penyediaan lapangan kerja bagi orang miskin. Seringkali industri-industri ini sudah ada di daerah itu selama beberapa dekade. Sekarang, globalisasi telah menempatkan industri-industri ini dalam suasana kompetisi. Dan sebagian besar perusahaan ini tak bisa lagi mempertahankan daya saing mereka terhadap produsen internasional dengan hanya mengandalkan ongkos produksi yang murah, nilai tambah yang rendah, dan volume produksi yang tinggi, karena hal itu tidak akan bertahan lama dan akan menyebabkan kualitas perusahaan dan kualitas kerja mereka semakin rendah. Mendorong para stakeholder lokal untuk memahami dimensi-dimensi kompetisi dan dampak potensialnya atas lapangan pekerjaan, serta mengidentifikasi dan mengimplementasikan respon atas perubahan-perubahan ini.
 Pendekatan yang seringkali digunakan oleh perusahaan-perusahaan kecil menghadapi tekanan persaingan ini adalah pengelompokkan usaha-usaha kecil yang bergerak di sektor industri yang sama atau terkait dengan industri tertentu. Pendekatan ini adalah cara yang biasa diterapkan di Indonesia dan memang ada alasan ekonomi yang kuat untuk melakukannya. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam sentra-sentra produksi seperti itu memperoleh daya saing kompetitif dari:
- Kedekatan ke sumber bahan baku
- Ketersediaan layanan pengembangan usaha yang bagus
- Banyaknya klien yang bisa dirangkul oleh sentra-sentra industri yang bersangkutan, dan
- Ketersediaan tenaga kerja terampil

Namun demikian, pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa upaya langsung pemerintah untuk mendorong pengembangan sentra-sentra industri melalui koperasi dan bantuan teknis sering gagal karena para pelaksana tidak mampu mengangkat potensi kewirausahaan dan kemampuan mengorganisasi diri sendiri di sentra-sentra industri tersebut. Pemerintah membutuhkan lingkungan kebijakan yang kondusif dan kemitraan dengan para stakeholder agar sentra-sentra industri mengembangkan dan mengimplementasikan strategi dan kelompok mereka sendiri. 

2.10 Pengembangan Kemampuan Para Mitra Sosial Lokal

Pendekatan LED menyediakan kerangka kerja dimana para mitra sosial publik dan swasta bisa bekerja bersama dalam mengatasi sejumlah masalah ekonomi dan sosial lokal seperti peningkatan pendapatan, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Pendekatan LED dapat menjadi strategi penting dalam upaya Indonesia mengentaskan kemiskinan. Namun demikian, pendekatan ini memerlukan keterampilan dan keahlian baru. Diperlukan program yang tepat untuk pengembangan kemampuan bagi pemerintah daerah dalam pengembangan program dan pembuatan kebijakan UKM. Upaya pengembangan kemampuan ini tidak hanya diperlukan oleh sektor publik melainkan juga bagi semua mitra sosial. 



BAB III
PENUTUP
REKOMENDASI KEBIJAKAN


Dalam konteks Program Strategi Pengentasan Kemiskinan (PRSP), ILO mendesak Pemerintah untuk:

1. Memperkuat kerangka koordinasi kebijakan

Untuk mendapatkan manfaat dari kesempatan meningkatkan inisiatif pengembangan UKM mutlak diperlukan adanya koordinasi yang kuat dalam soal program dan kebijakan baik di antara para pelaku nasional, pemerintah daerah, dan sektor swasta. Lebih jauh lagi, yang lebih penting adalah pemerintah menggunakan kewenangannya untuk menjamin bahwa semua kebijakan dan program lokal sangat layak secara ekonomi dan sesuai dengan UKM. Inisiatif seperti itu secara sistematis harus mengacu pada praktek bisnis yang baik (international best practice) dan keahlian para pengusaha lokal dan asosiasi bisnis di daerah.

2. Menempatkan pengentasan kemiskinan dalam pokok-pokok kebijakan dan program pengembangan usaha

Sayang sekali, banyak kebijakan pengembangan usaha di masa lalu tidak menempatkan pentingnya penciptaan lapangan kerja atau peningkatan mutu pekerjaan sebagai tujuan utama. Akibatnya, terjadilah pembangunan yang tidak merata yang harus segera dibenahi. Karena itu, ada kebutuhan untuk mengintegrasikan atau memposisikan perhatian (concern) dalam soal kemiskinan dan lapangan kerja sebagai hal terpenting dalam berbagai perdebatan mengenai kebijakan sosial dan ekonomi. Dengan menempatkan hal itu dalam arus utama, dengan sendirinya akan memunculkan pengakuan atas begitu besarnya sektor informal di pertanian dan perkotaan yang merupakan mayoritas usaha skala kecil menengah. Mereka kebanyakan terdiri dari pekerja dan pengusaha miskin. Kelompok yang menjadi target utama program pengembangan kewirausahaan ini seharusnya perempuan dan laki-laki muda. Lewat cara ini, kaum muda akan memberikan kontribusinya dengan menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan Indonesia akan memperoleh manfaat dari bakat kreatif kaum muda ini. Strategi seperti itu harus melibatkan sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan dalam penyediaan pelatihan, mentoring, dan akses ke kredit bagi para pengusaha muda. Strategi ini juga harus mempromosikan kewirausahaan di sekolah dan lembaga-lembaga pelatihan keterampilan.

3. Mendukung koperasi untuk mengambil bagian dalam pengentasan kemiskinan

Diketahui bahwa di seluruh dunia koperasi adalah salah satu organisasi yang paling layak memerangi kemiskinan. Di Indonesia, karena pengalaman koperasi yang disponsori pemerintah di masa lalu, dalam rangka mengembangkan nilai dan keuntungan organisasi koperasi dalam pembangunan, masalah yang diwariskan tersebut harus diatasi, termasuk finalisasi proses penyusunan kerangka kebijakan yang kondusif, mempertimbangkan Rekomendasi 193. Karenanya, koperasi haruslah dimiliki anggota, organisasi yang demokratis dan otonomi, dan tetap bebas dari intervensi pemerintah. Tambahan pula, koperasi perlu mendapat akses ke pelayanan dukungan, termasuk pelatihan manajemen, pendidikan anggota, audit dan kredit, sehingga mereka dapat memainkan peranan lebih besar dalam pengentasan kemiskinan di desa dan kota dan dalam ekonomi informal. Kerjasama dengan serikat pekerja harus didorong untuk memperbaiki kondisi kerja dan mengurangi kemiskinan di sektor informal.

4. Mengembangkan kemampuan untuk pembangunan ekonomi

Sebagian besar program UKM di masa datang akan didesentralisasi, sehingga upaya memperkuat kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan di semua tingkatan menjadi sangat penting, untuk memperkuat keuntungan potensial dari desentralisasi dan otonomi daerah yang pada gilirannya akan menguntungkan masyarakat lokal dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Diperlukan program pengembangan kemampuan yang tepat untuk pemerintah daerah dan para mitra sosial lainnya dalam pembuatan kebijakan dan program pembangunan Local Economic Development (LED) atau Pengembangan Ekonomi dan Lapangan Kerja Daerah.

Komentar

Blog Lainnya